Lahir: Middelharnis, 19 Agustus 1917
Wafat: Eindhoven, 13 Agustus 1996
P.L. Dronkers adalah lulusan pendidikan pegawai negeri sipil Leiden bulan September 1941. Ia bertugas di Bali pada kurun waktu 1946 - 1950. Pada awalnya ia bekerja sebagai Binnenlands Bestuur di bawah Allied Military Administration Civil Affairs Branch (AMACAB), sebuah institusi yang kemudian ditutup pada tahun 1946. Ia menjadi aspirant-controleur di Buleleng pada bulan Maret hingga Mei 1946, kemudian dipindahkan ke Jembrana untuk posisi yang sama pada bulan Mei hingga Desember 1946. Karirnya naik menjadi controleur di Tabanan pada Januari 1947 sebelum menjadi bestuursadviseurs (penasehat pemerintah) di wilayah yang sama pada pertengahan tahun 1947. Pada bulan Juni 1948 diangkat menjadi Kepala Departemen Urusan Politik Dewan Raja - Raja hingga Maret 1949. Karir terakhirnya sebelum kembali ke Belanda adalah sebagai Kepala Departemen Urusan Ekonomi Dewan Raja - Raja pada bulan Juni 1949 hingga April 19501.
Sebagai pejabat ia juga mengirimkan laporan kepada Nederlands Indies Goverment Information Services (NIGIS), sebuah lengan sipil dari organisasi intelijen Belanda yang beroperasi selama operasi militer2. Kombinasi antara kemampuannya memotret, naluri jurnalis dan akses yang dimiliknya sebagai seorang pejabat memungkinkannya hadir pada banyak peristiwa bersejarah dan mengabadikannya ke dalam bingkai foto. Beberapa peristiwa bersejarah yang sempat ia abadikan di antaranya: Konferensi Denpasar (1946), serah terima Residen ke Dewan Raja - Raja (1949) dan kedatangan Sultan Hamengku Buwono IX ke Bali (1949).
Dronkers juga dekat dengan beberapa seniman dan peneliti yang berkiprah di Bali di antaranya: Theo Meier, Rudolf Bonnet, Christian Johan Grader, Roelof Goris, J.L. Swellengrebel, dll. Dengan Swallengregel ia bekerja sama sebagai kontributor foto untuk proyek buku Kerk und Tempel yang terbit tahun 1948. Pada saat menjadi pejabat di Tabanan ia berhasil mendokumentasikan proses pengembangan desa Blimbingsari yang kelak menjadi desa Ambiarsari di Jembrana, serta aktifitas jemaat gereja di Untal - Untal dan Abianbase. Selain itu ia juga meliput berbagai upacara keagamaan di Bali salah satunya piodalan di Tanah Lot. Selanjutnya ketertarikannya dengan etnografi khususnya tentang Bali makin kuat. Ia menghasilkan banyak foto tentang Bali, mulai foto kegiatan adat, budaya dan ritual keagamaan, kesenian Bali termasuk di dalamnya seni rupa berupa patung dan lukisan. Demikian juga foto - foto peninggalan purbakala dan arsitektur pura di Bali. Beberapa seniman besar juga tidak luput ia foto di antaranya: Wayan Lotring, I Gusti Ngurah Raka, Ida Bagus Ketut Gelodog, dan Ida Bagus Djana Tilem. Kumpulan foto - foto itu kemudian terangkum dalam buku terbitan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 1953 dengan judul Bali Atlas Kebudajaan atau Bali Cults and Customs dengan Goris menjadi penulis utama dan Bonnet menulis untuk materi seni rupa. Belakangan nama P.L. Dronkers lebih dikenal sebagai fotografer lewat buku tersebut.
Setelah Jepang menyerah pada Perang Pasifik, NICA dengan pimpinan Ch.O. van der Plas tiba di Batavia dengan membonceng Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI / pasukan sekutu) pada bulan September 19453. Kedatangan NICA sendiri mendapatkan pertentangan dari Republik sehingga akhirnya diorganisasi ulang dan didemiliterisasi pada bulan Oktober 19454 menjadi AMACAB. Dronkers sendiri awalnya adalah kontingen dari NICA yang diberangkatkan ke Australia setelah mendaftar sebagai rombongan pegawai negeri sipil pertama yang akan bertugas di Hindia Belanda pada bulan Juli 19455 sebelum akhirnya bergabung dengan AMACAB wilayah Bali pada awal tahun 1946. Pada saat tiba di Batavia pada tanggal 3 Oktober 1945, ia dipekerjakan oleh Regerings Voorlichtings Dienst (RVD) / Layanan Informasi Pemerintah yang berada di bawah Directeur van Binnenlands-Bestuur. Di lembaga ini ia bertugas di divisi jurnalistik di bawah WA van Goudoever, salah satu pejabat RVD6 yang merupakan mantan redaktur De Locomotief dan kelak terlibat dalam pendirian Lembaga Pers dan Pendapat Umum Indonesia pada tahun 1952.
Pada tanggal 2 Maret 1946 pasukan Belanda dengan pimpinan Lieutenant Colonel F.H. Ter Meulen mendarat di Sanur tanpa ada pertempuran. Pasukan kemudian menuju Denpasar dan menggantikan pasukan SEAC / Inggris yang sebelumnya telah mendarat pada 23 Februari7. Sehari setelahnya Ter Meulen dengan ditemani J.A. van Beuge (CO-AMACAB Bali pertama) mengadakan pertemuan dengan raja - raja di Bali di Klungkung8 serta menangkap Gubernur Sunda Kecil, I Gusti Ketut Pudja pada 11 Maret 19469.
Dronkers sendiri mengawali tugasnya sebagai pegawai negeri sipil di Bali dengan menjadi aspirant-controleur (Inspektur Junior) di Buleleng pada bulan Maret hingga Mei 194610 mendampingi controleur H.C. Smith11. Di masa itu ia dokumentasikan pesta pembukaan lapangan terbang khusus pesawat pengintai Piper Cub di Singaraja12. Setelah itu hingga akhir tahun 1946 ia bertugas di Jembrana dengan posisi yang sama dimana ia terlibat pada pesta perayaan hari ulang tahun Pangeran Bernhard dan hari Ratu masing - masing pada akhir Juni dan 31 Agustus 1946 di Negara. Di dua perayaan itu dalam arsipnya terekam aksi teatrikal dengan atribut kesenian Bali namun dengan pesan - pesan politis / propaganda13. Sebelum tugasnya sebagai aspirant-controleur di Jembrana berakhir, ia sempat ikut mendokumentasikan Konferensi Denpasar pada akhir tahun 1946. Peristiwa yang menandai berdirinya Negara Indonesia Timur itu kemudian dirangkum ke dalam buku Denpasar Bouwt Een Huis (1947) oleh van Goudoever, mantan atasannya di RVD, Batavia.
Setelah itu karir Dronkers meningkat saat menjadi controleur di Tabanan menggantikan A.W.A.A Ellerbeck pada bulan Januari 194714. Pergantian Ellerbeck diduga berkaitan erat dengan konflik sipil - militer yang melibatkan Jendral Simon Spoor dan Directeur van Binnenlands-Bestuur, W. Hoven di Batavia. Dengan pengalaman masa pra-perang Hoven merasa strategi politik lebih efektif ketimbang solusi militer, akibatnya Hoven tersinggir jelang akhir tahun dan digantikan oleh generasi yang lebih muda dan umumnya tidak punya pengalaman di Hinda Belanda, terutama Bali. Secara umum tim baru lebih mudah bekerja sama dengan militer sehingga memungkinkan konsolidasi aparatur negara yang sangat otoriter di Bali. Sebelumnya Residen / CO-AMACAB kedua, W.G. Jacobs lebih dahulu tersingkir karena konflik yang sama. Jacobs disebut - sebut sebal bekerja sama dengan Konig dan bentrok dengan Ter Meulen15.
Jabatan Dronkers berubah menjadi penasehat zelfbestuur Tabanan setelah terbentuknya Federatie Bali lewat keputusan kedelapan Raja - Raja (breslit No. 1/1947) pada tanggal 15 Agustus 194716. Lewat keputusan itu dan dikuatkan oleh surat keputusan Directeur van Binnenlands-Bestuur (breslit No. B.Z. 2/1/6) tanggal 16 Januari 1947, posisi controleur Belanda sebagai Hoofd van het Plaatselijk Bestuur (HPB / Kepala Pemerintahan Daerah) digantikan oleh putra - putra lokal dalam hal ini zelfbestuur / pimpinan swapraja (saat itu oleh pemimpin kerajaan). Sedangkan para mantan controleur kemudian diangkat menjadi penasehat zelfbestuur.
Dalam perkembanganya para penasehat kemudian ditarik ke kantor Dewan Raja - Raja di Denpasar pada pertengahan tahun 1948, di mana Dronkers kemudian menjabat sebagai Kepala Departemen Urusan Politik Dewan Raja - Raja mulai Juni 1948 hingga Maret 194917. Pada masa ini ia turut mengantarkan permisahan residen Bali - Lombok yang dilanjutkan penyerahan kedaulatan wilayah Bali dari residen Bali - Lombok saat itu, Dr. M. Boon ke Dewan Raja - Raja pada tanggal 14 Maret 194918. Pasca penyerahan residen Bali ia kemudian diangkat sebagai sebagai Kepala Departemen Urusan Ekonomi Dewan Raja - Raja mulai bulan Maret 1949 hingga April 195019.
Posisi Belanda mendapat tekanan pasca terbentuknya Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO) atau negara - negara federal bentukan Belanda yang ternyata mendukung pengakuan kedaulatan Republik. Terlebih setelah diadakannya konferensi Inter - Indonesia antara Republik dan BFO sebagai persiapan pelaksanaan Konferensi Meja Bundar (KMB). Pasca kesuksesan konferensi tersebut muncul Gerakan Nasional Indonesia (GNI) tepat pada perayaan hari Nasional tanggal 17 Agustus 1949 di Denpasar. Gerakan yang yang dipelopori oleh pendukung Republik. Awalnya gerakan ini menuntut agar tahanan politik yang tidak terlibat tindakan kriminal dibebaskan namun pada akhirnya terus membesar. Dan di bulan - bulan selanjutnya semakin banyak bermunculan organisasi yang berorientasi Republik. Mulai kelompok pemuda, organisasi siswa, guru hingga perempuan dari koperasi, serikat pekerja dan perusahaan dagang. Selain itu gerakan ini didukung oleh kelompok - kelompok kerja yang mengumpulkan dana untuk Republik20.
Pasca pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda pada tanggal 29 Desember 1949, tekanan dan ancaman terhadap orang-orang (terlebih pejabat) yang terafiliasi dengan Belanda makin kuat dan memaksa Dronkers beserta keluarganya pulang ke Belanda pada bulan April 195021. Sebelumnya pada tanggal 25 Desember 1949 ia sempat mendokumentasikan kedatangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke Bali22 bersama Anak Agung Gde Agung, masing - masing dalam kapasitas sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri RIS. Kedatangan Sri Sultan mendapat sambutan hangat dari para pemuda pendukung Republik.
Berselang empat bulan kemudian tepatnya pada perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan setelah seluruh anggota negara federal yang tergabung dalam RIS bergabung dengan Republik Indonesia.