Pada tahun 1947 atas seijin pemerintah dilaksanakan pembukaan lahan di hutan sebelah barat
enjungan kelod kauh desa Blimbingsari oleh 44 kepala keluarga (KK) sebelum disusul lagi oleh 10 KK. Lahan yang kemudian menjadi banjar
Ambyarsari merupakan perluasan dari desa Blimbingsari yang saat itu beberapa keluarga tidak mendapat pembagian lahan sehingga diajukan pembukaan lahan baru. (Junaedi, 2014:96-98, Swellengrebel, 1948:258)
Desa Blimbingsari adalah hasil pembukaan lahan di Alas Cekik, Jembrana pada akhir 1939 yang dilakukan untuk merelokasi orang - orang Kristen Protestan di desa - desa (Untal - untal, Abianbase, Sading, Plambingan, Carangsari, Bongan) akibat konflik karena perpindahan agama. Sedangkan Jembrana sejak tahun 1935 telah ditetapkan sebagai wilayah transmigrasi selain sebagai tempat pembuangan orang - orang bermasalah di masa itu.(Junaedi, 2014:65)
Pada tanggal 30 November 1939 dengan menumpang dua bus Sapakira, rombongan yang berjumlah 30 orang berangkat ke Alas Cekik dengan pimpinan Made Sela, Made Rungu dan Nyoman Regig. Di akhir tahun mereka sudah bisa berkumpul bersama keluarga untuk merayakan hari Natal. (Junaedi, 2014:72-74, Swellengrebel, 1948:222)
Lihat: I Wayan Ruspendi Junaedi, Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari (2014), hal. 96 - 98
Lihat juga: Swellengrebel, Kerk en..., op. cit., hal. 222 dan 258
Lihat juga: Eka Sabara, Bus Sapakira 1950 - 1963
Lihat juga: SP Martana, Balinese Christian Architecture, 1936 - 200 (2018), hal. 4
Figure 3: Layout of the church of Ambyarsari, the same pattern with the Blimbingssari
Lihat juga: SDK Maranatha dan Gereja Blimbingsari
P.L. Dronkers beberapa kali mengunjungi Blimbingsari, Lihat: Koran Trouw, 5 April 1947
Op Blimbing Sari zijn de Nederlandsche militairen op bezoek geweest; de controleur van het Binnenlandsch Bestuur P.L. Dronkers, is verschillende keeren bij hen geweest...
Pendeta Th. B.W.G. Gramberg mengunjungi Blimbingsari saat Paskah tahun 1947, Lihat: Swellengrebel, Kerk en..., op. cit, hal. 267
In 1947 woonde ik de Paasviering van de gemeente Blimbingsari bij. De dag tevoren waren de wegen bij het kruispunt, waar de kerk staat, versierd. Elke bandjar had op zijn eigen weg een pèndjor (een mooi versierde bamboepaal) opgericht, terwijl ook de kerk zelf met slingers en bloemen nogal bont getooid was.