Sekolah dasar (Tweede Klasse Inlandsche School) pertama di Bali diresmikan di Singaraja
Di berbagai tempat di Bali dibuka Sekolah Dasar Desa (Volksschool) yang menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar. Pada saat itu sebagian besar murid serta guru-gurunya adalah orang biasa
Sedangkan para bangsawan enggan menyekolahkan anak-anak mereka di sana dengan alasan status social.
Sekolah Dasar dengan kurikulum sekolah Belanda (Hollandsch-Inlandsche School, HIS) dibuka di Singaraja dan Denpasar. Materi pelajarannya selain membaca, menulis dan berhitung, juga belajar Bahasa Melayu dan Belanda
Kebanyakan muridnya adalah anak-anak bangsawan. Namun untuk melanjutkan ke pendidikan menengah mereka harus melanjutkannya ke Jawa atau Makasar. Setidaknya sekitar 60 orang siswa melanjutkan sekolah ke luar Bali
Berdasarkan sensus 1920, 8% laki-laki dan hanya 0,35 % perempuan Bali telah bisa membaca dan menulis huruf latin.
Hingga tahun 1929 telah ada 3 HIS, 29 Tweede Klasse Inland Scholen dan 109 Volkssholen. Salah satu dari 3 HIS itu adalah HIS Siladarma yang berada di Klungkung atas prakarsa Raja Karangasem dan Gianyar karena jarak ke Denpasar dan Singaraja dirasa jauh.
Sebuah buku dengan aksara Java dan Bali bersanding dengan huruf latin dengan judul "Beschrijving der Javaansche, Balineesche en Sasaksche handschriften" diterbitkan di Batavia. Sebagian besar isinya adalah warisan dari Van der Tuuk
Sebuah perkumpulan bermana Setiti Bali yang bertujuan memajukan masyarakat Bali dalam bidang pendidikan, adat istiadat dan perkonomian berdiri di Singaraja
Perkumpulan Suita Gama Tirta dengan pimpinan I Gusti Putu Djelantik berdiri di Singaraja. Perkumpulan ini menggantikan Setiti Bali yang atas desakan pemerintah serta perselisihan internal harus bubar. Salah satu yang progamnya adalah mengkikis faham Ajawera dengan membuka kursus-kursus dan pembacaan lontar bagi kalangan muda.
Tahun 1920-an disebut-sebut awal munculnya perkumpulan modern di Bali. Perkumpulan yang memiliki struktur format dan anggaran dasar yang tertulis serta anggotanya bersifat sukarela, tidak seperti organisasi adat yang bersifat mengikat dalam hubungan sosial atau organisasi subak dalam ikatan wilayah dan kegiatan di subak.
Perkumpulan-perkumpulan ini menerbitkan majalah untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya dan sering memunculkan pertarungan khususnya perdebatan antara kaum intelektual Triwangsa dan Jaba.
Pertarungan lewat tulisan pada masa ini yang paling dikenal adalah antara Bali Adnyana dan Surya Kanta, dengan tokoh-tokoh di antaranya: Tjakra Tenaja, Ketoet Nasa, Njoman Kadjeng, Wajan Roema, dll.
Di era ini juga ditandai dengan penggunaan Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda yang makin meningkat terutama di kalangan intelektual Jaba, salah satu alasannya tidak adanya tingkatan bahasa (sor singgih) yang dianggap merendahkan.
Sementara itu pada tahun 1931-1935 Dr. Roelof Goris seorang orientalis memimpin sebuah penerbitan bernama Bhawanagara, dengan anggota: Njoman Kadjeng, Ketoet Widjanegara, I Gusti Putu Jelantik, Wajan Roema, Tjakra Tenaya, dll. Majalah yang merupakan perpanjangan perpustakaan Van der Tuuk di Singaraja, memiliki tagline: Soerat kabar oentoek memperhatikan peradaban Bali.
Namun demikian di masa ini gerakan pemikiran modern tetap mendapat tempat. Sebuah organisasi bernama Bali Darma Laksana (BDL) membuat gerakan menanamkan agar wanita Bali tidak bertelanjang dada dan menjadi objek turis. Gerakan ini kemudian bersambut dengan berdirinya Perkumpulan Putri Bali Sadar di Denpasar di bawah pimpinan I Gusti Ayu Rapeg. Perkumpulan BDL sendiri menerbitkan Majalah Djatayu (1936-41) dengan Pandji Tisna sebagai editor pertama sebelum digantikan, Njoman Kadjeng, Gede Panetja dan Wajan Bhadra
Sedangkan Pandji Tisna sendiri pada masa ini aktif menerbitkan beberapa novel Berbasa Melayu seperti Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) hingga Sukreni Gadis Bali (1936)
Gerakan literasi kaum terpelajar Bali yang tidak jarang menimbulkan perdebatan sengit mengkhawatirkan pemerintah. Lebih-lebih kekhawatiran pemerintah terhadap pengaruh pendidikan barat pada keberlangsungan kebudayan lokal yang tidak hanya akan terimbas oleh perkembangan pariwisata namun juga oleh pemikiran-pemikiran modern. Di era ini pemerintah merasa perlu memasukan gerakan Baliseering dalam dunia pendidikan. Untuk itu Departement Pendidikan kemudian mengangkat H. te Flierhaar untuk menata pendidikan di Bali pada bulan Mei 1939.
Program Baliseering lewat pemikiran H. te Fliehaar yang ia terapkan pada HIS Siladarma di Klungkung diadopsi pemerintah pada tahun 1939. Program-progamnya antara lain: Program-program Baliseering-nya untuk sekolah di Bali antara lain: (1) Pembangunan gedung sekolah dengan style Bali. (2) Reformasi pendidikan menggambar. (3) Reformasi pendidikan menyanyi, (4) Mengumpulkan bahan bacaan untuk buku bacaan baru. (5) Memperkenalkan unsur-unsur tarian Bali pada pendidikan senam.
Buku Taman sari I Papoepoelan gending bali oleh Wajan Djirna dan Wajan Roema yang diterbitkan pada bulan Desember 1939 adalah hasil dari program ini. Kedua penyusun berhasil merangkum lagu anak-anak yang tersebar di Bali lengkap dengan notasi aksara Balinya
Pasca kemerdekan, Sekolah Rendah berganti nama menjadi Sekolah Rakyat untuk menghilangkan perbedaan strata di masyarakat
Majelis Pendidikan Rakyat dengan melahirkan Sekolah Landjoet Oemoem, sekolah swasta yang awalnya berdiri di Banjar Kaliungu Kelod, Denpasar dan kelak menjadi Perguruan Rakyat Saraswati
Dalam perjalannnya pada masa revolusi kemerdekaan sekolah ini mengalami pasang surut seiring tokoh-tokohnya dicurigai bahkan ditahan Belanda karena haluannya ke Republik
Tokoh-tokoh yang terkait dengan SLU diantaranya: I Gusti Putu Merta, I Gusti Bagoes Oka, I Nyoman Kadjeng, Ida Bagus Putra Manuaba, dll.
Pasca mengundurkan diri sebagai Raja Buleleng sekaligus parlemen NIT, A.A. Pandji Tisna mulai kembali melirik dunia literasi yang sempat hilang karena situasi perang. Banyak sekolah tutup karena tokoh-tokohnya terlibat perang. Ia kemudian membangun sebuah perpustakan dan ruang baca dengan plang Balai Kemadjuan Singaradja
Perpustakaan ini kemudian lebih dikenal dengan nama Perpustakaan Udiyana Adnyana Bhuwana
Sebuah perpustakaan dan ruang baca sepertinya tidak cukup bagi Pandji Tisna, ia kemudian melakukan studi tentang pelaksanaan pendidikan tinggi ke India. Hasilnya pada presentasikan di depan Njoman Tirta dan Wajan Roema pada 29 Mei 1948 sebelum akhirnya diputuskan membentuk sebuah yayasan pengelola sekolah partikelir pada 4 Juni 1948
Tepat pada tanggal 2 Agustus 1948 sebuah sekolah menengah (setingkat SMP) yang bernama Sekolah Bhaktiyasa secara resmi dibuka lewat sambutan oleh Wajan Roema. Pada saat itu sekolah masih memanfaatkn ruangan baca Perpustakaan Udiyana Adnyana Bhuwana. Bangunan sekolah kemudian baru dibangun secara bertahap setelah mendapatkan dana dari penggalangan dana. Salah satunya pada acara malam amal yang dilakukan pada 14-24 Maret 1949
Pada bulan Februari sekolah ini dikunjungi dr. Frans Rijndert Johan Verhoeven, direktur StiCUSA dan mantan lembaga arsip Hindia Belanda, mengundang Pandji Tisna ke Belanda untuk belajar tentang pengelolaan pendidikan tinggi
Sebuah kongres dengan agenda utama memilih nama agama di Bali dilaksanakan pada tanggal 16 - 19 November 1949 di Singaraja. Dengan dukungan sebagian besar raja-raja di Bali yang hadir pada saat itu dipilih Agama Tirta mengalahkan nama-nama lain seperti: Agama Siwa, Siwa-Budha, Bali Hindu dan Hindu. Pada saat itu juga ditegaskan bahwa hanya pedanda Siwa dan Budha yang memiliki wewenang untuk menasbihkan calon pedanda.
Lihat: Michagel Picard, Balinese Religion in Search of Recognition From Agama Hindu Bali to Agama Hindu 1945-1965 ( 2011), hal. 487
Laporan M. Boon menyebutkan Paruman Para Pandita Bali berdiri pada 8 Januari 1948. Lihat: Dr. M. Boon, Politiek verslag van de Residentie Bali en Lombok over de Eerste Helft van Januari 1948, 23 Januari 1948, hal. 4.
Op 8 Januari j.l. werd de "Paroeman Para Pandita Bali" gesticht ten deel hebbende de Bali-Hindu priesters te verenigen en de kennis der religie bij het volk te verdiepen
Lihat: Dr. M. Boon, Politiek verslag van de Residentie Bali en Lombok over de Eerste Helft van de maand November 1948, 2 Desember 1948, hal. 6.
In het verig verslag werd reeds gesproken over het Congres van Pedanda's dat op 6 November te Denpasar plaats had, waarbij de "Paroeman Pandita" werd opgericht. Deze stelt zich ten deel meer eenheid te verwezenlijkn (b.v.in de feestkalender), beter inzicht te verwerven en te verbreiden in de Hindoetheologic en tenslette de oprichting van een school voor te bereriden waar pedanda's hun opleiding kunnen ontvangen.
Untuk kelancaran pendidikan dilakukan pelatihan bagi guru-guru yang akan mengajar selama 1 tahun, 7 bulan. Dari 19 guru beberapa diantaranya adalah: Dr. Hariwidjojo (Kesehatan), dr. Goris (Sejarah dan Budaya), Patih Made Tjingak (Menggambar), Bpk. Panetja (Lembaga Negara), Pendeta Franken (Bahasa Inggris) dan istri Pendeta Franken (Bahasa Belanda)
Menjelang diadakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag akhir Agustus 1949, pemerintah Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO) / negara - negara federal bentukan Belanda mengadakan Konferensi Inter - Indonesia I (Yogyakarta, 19 - 22 Juli 1949) dan II (Bandung, 31 Juli - 2 Agustus 1949). Hasilnya relatif menguntungkan Republik, diantaranya: pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan dukungan BFO atas tuntutan Republik Indonesia tentang penyerahan kedaulatan tanpa syarat.
Dua pemimpin nasonialis pendukung Republik yang juga anggota parlemen NIT, Ida Bagus Putra Manuaba (ketua Majelis Pendidikan Rakyat yang menaungi SLU, hasil pertemuan bulan Februari 1949) dan Made Mendra kemudian memanfaatkan momentum perayaan 17 Agustus 1949 untuk bergerak dan membentuk GNI di Denpasar. Organisasi ini menuntut pemerintahan NIT agar melepaskan semua tahanan politik yang tidak terlibat tindakan kriminal
Bulan - bulan selanjutnya banyak bermunculan organisasi yang berorientasi Republik. Mulai kelompok pemuda, organisasi siswa, guru hingga perempuan dari koperasi, serikat pekerja dan perusahaan dagang. Selain itu gerakan ini didukung oleh kelompok - kelompok kerja yang mengumpulkan dana untuk Republik. Salah satu yang paling penting adalah kelompok baru yang berhaluan kiri namun lebih militan dibandingkan GNI yaitu Gerakan Pemuda Indonesia (Gerpindo) yang berdiri pada 5 September 1949 dengan tokoh utama Sutedja, Gde Puger dan Ida Bagus Mahadewa